Apa Itu Tasawuf
©
2013, Dede Musa Syamsul Huda, Apa itu Tasawuf?
Cetakan
Pertama, Desember 2013
Penyunting:
Ali Hanafiah
Desain
Sampul: Ali Hanafiah
Tata
Letak: Ali Hanafiah
Diterbitkan
oleh Hanafee Press
Jln.
Raya Cipadung, Cibiru, Kota Bandung.
Surel:
Alihanafiah9@gmail.com
http://hanafee8.blogspot.com
Hak cipta tidak dilindungi
undang-undang
Boleh
memperbanyak karya susunan ini dalam bentuk dan dengan cara apapun. Termasuk
fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.
Kata
Pengantar
Segala puji bagi Allah Swt, Maha
Suci bagi Allah yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menyeleaikan
buku ini. Buku Apa Itu Tasawuf adalah
buku pertama penulis yang dapat diselesaikan dengan lancar meskipun masih
terdapat kekurangan. Buku ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarekat
sebagai tugas akhir semester.
Penulis berharap semoga buku ini
dapat menjadi bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembacanya, karena buku ini
memberikan informasi tentang tasawuf. Tasawuf adalah ilmu untuk membersihkan
hati dari kotoran-kotoran hati seperti, hasad, dengki, iri, dendam dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, buku ini membahas tentang cara dan bagaimana
suapay hati kita tidak terisi oleh sifat-sifat buruk tersebut.
Semoga buku ini dapat menjadi
rekomendasi buku jurusan Tasawuf Psikoterapi. Aamiin.
Pengantar
Bnadung, 2013
Daftar
Isi...
1.
Pendahuluan__7
2.
Mengenal Tasawuf__11
Definisi
Tasawuf__11
Akar
Kata Tasawuf__13
Sejarah
lahirnya Tasawuf__19
3.
Tasawuf sebagai
Penyempurna Akhlak__23
4.
Tasawuf dan Kehidupan
Rohani__35
5.
Isi Pokok Ajaran
Tasawuf__43
Tasawuf
Akhlaki__43
Tasawuf
‘Amali__64
Beberapa istilah Praktis__65
Jalan mendekatkan diri kepada
Allah__78
Tasawuf
Falsafi__116
Bibliografi__119
Tentang Penulis__121
1Pendahuluan
kehidupan manusia sekarang
sudah menjadi tantangan para rohaniawan yang harus ekstra keras dalam
menegakkan syariat islam. Islam adalah agama proses yang terus berkembang
hingga saat ini, hal ini disebabkan oleh kegigihan yang terus membara dalam
memperjuangkan dan menegakkan agama Allah
swt. Rasulullah adalah satu contoh yang sangat luar biasa dalam
menyebarkan agama Islam meskipun pada kenyataannya banyak sekali tantangan dan
rintangan yang dihadapinya baik dari faktor internal maupun faktor eksternal.
Hidup di dunia adalah sebuah
perjalanan menuju ke kehidupan yang asli (di akhirat), hidup di dunia hanya
sementara dengan dihiasi oleh ujian dan cobaan baik yang bersifat membahagiakan
maupun yang menderitakan. Kehidupan yang bahagia adalah kehidupan yang harmonis
dan nyaman, harmonis dengan sesama (manusia), alam, dan yang paling utama
adalah dengan Tuhannya. Ketidakharmonisan yang dapat menyebabkan hidup menjadi
tidak bermakna menjadikan manusia sengsara, baik sengsara hati maupun sengasara
secara materil.
Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk
sebaik-baiknya, tujuan diciptakannya manusia adalh untuk beribadah kepadanya,
akan tetapi pada kenyataannya di zaman ini banyak sekali
pelanggaran-pelanggaran agama yang dilakukan oleh manusia-manusia yang lupa dan
membangkan kepada Allah. Kehidupan modern yang menjadikan manusia semakin lalai
dan tersesat menyebabkan dunia ini menjadi semkain hancur. Kehancuran ini adalah dampak dari kelalaian
manusia untuk mengingat Allah dan meresapi makna dibalik kehidupan yang
sementara ini sehingga yang ada hanyalah kesengangan belaka tanpa ada rasa
tnggung jawab yang besar.
Seandainya manusia mengetahui
dangan benar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara dan akan diminta
pertanggungjawabannya oleh Allah di akhirat ini, maka semua manusia akan
memanfaatkan hidup ini dengan baik dan penuh dengan makna. Akan tetapi, itu
semua belum cukup jika hanya memaknai hidup ini dengan pikiran yang serba
terbatas itu, ada satu hal yang harus diperhatikan manusia bahwa manusia harus
harmonis dengan Tuhannya. Bagaimana harmonis dengan Tuhan? Pertanyaan itu akan
segera terjawab oleh pembahasan buku yang anda pegang ini.
2Mengenal
Tasawuf
Definisi Tasawuf
Zakaria al-Anshari berkata, “Tasawuf adalah ilmu yang
dengan-nya diketahui tentang pembersiahn jiwa, perbaikan budi pekerti serta
pembanguna lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.”[1]
Di antara ulama
ada yang mengatakan bahwa tasawuf secara keseluruhan adalah akhlak. Barangsiapa
memberimu bekal dengan akhlak, maka dia telah memberimu bekal dengan tasawuf.
Penulis Kasyf azh-Zhunun mendefinisikan tasawuf
sabagai ilmu yang dengannya diketahui cara manusia sempurna meniti jalan menuju
kebahagiaan. Dia juga mendefinisikan tasawuf dalam syair berikut,
Tasawuf adalah ilmu yang tidak diketahui
Kecuali oleh orang yang mengetahui
kebenaran
Dia tak akan dikenal oleh orang yang tidak
mengalaminya
Dan bagaimana mungkin orang buta dapat melihat cahaya[2].
Ahmad Zaruq mengatakan bahwa kata tasawuf telah didefinisikan
dan ditafsirkan dari berbagai aspek, sehingga mencapai sekitar dua ribu
definisi. Semua itu disebabkan karena ketulusan untuk menghadapkan diri kepada Allah,
yang dapat dicapai dengan berbagai cara.
Akar Kata Tasawuf
Terdapat beragam pendapat mengenai akar kata tasawuf. Ada yang
mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata shufah (kain dari bulu). Dinamakan demikian karena kepasrahan
seorang sufi kepada Allah ibarat kain wol yang dibentangkan.
Ada yang
berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata shifah (sifat). Sebab, seorang sufi adalah orang yang menghiasi
diri dengan segala sifat terpuji dan meninggalkan setip sifat tercela.[3]
Dalam Muqaddimah-nya. Ibnu Khaldu berkata,
“Ilmu tasawuf adalah salah satu di antara ilmu-ilmu syariat yang baru dalam
Islam. Asala mulanya ialah amal perbuatan ulama salaf dari para sahabat, tabiin
dan orang-orang sesuadah mereka. Dasar tasawuf adalah tekun beribadah, memutuskan
jalan selain yang menuju Allah, berpaling dari kemegahan dan kemewahan dunia,
melepaskan diri dari apa yang diinginkan oleh mayoritas manusia berupa
kelezatan harta dan pangkat, serta mengasingkan diri dari makhluk dan
berkhalwat untuk beribadah. Yang demikian ini sangat umum dilakukan oleh para
sahabat dan para ulama salaf. Lalu ketka manusia mulai condong dan terlena
dengan urusan duniawi pada abad kedua dan sesudahnya, namun sufi dkhususkan
bagi orang-orang yang tekun beriadah saja.[4]
Sebagian
kalangan mengatakan bahwa kata tasawuf dinisbatkan kepada kain wol yang kasar (shuf khasyin). Sebab, para sufi sangat
gemar memakainya sebagai simbol zuhud dan kehidupan yang keras.
Dengan
demikian, lebih baik kita memfokuskan perhatian kepada susbstansi dan esensi
dari tasawuf itu sendiri. Yang dimaksud dengan tasawuf adalah usaha untuk
membersihkan jiwa, memperbaiki akhlak dan mencapai maqam ihsan. Inilah yang dinamakan dengan tasawuf. Bisa saja
dikatakan bahwa tasawuf adalah aspek tasawuf, atau aspek ihsan, atau aspek
akhlak dalam Islam. Dan bisa saja tasawuf dinamakan dengan nama lain, asal
sesuai dengan intisari dan esensi dari tasawuf itu sendiri. Namun demikian,
para ulama sufi telah mewarisi kata dan hakikat tasawuf dari para pendahulu
mereka sejak masa awal Islam sampai dewasa ini, sehingga sudah menjadi tradisi
bagi mereka untuk menggunakan kata tasawuf.
Membersihkan hati dan mensucikan jiwa termasuk kewajiban
individual (fardhu ‘ain) yang paling
penting dan perintah Tuhan yang paling utama, berdasarkan al-Quran, hadis dan
pendapat-pendpat ulama.
a. Dalil
al-Quran
·
Firman
Allah, “Katakanlah, Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang Nampak maupun yang tersembunyi.”
(QS.Al-A’raf :33)
·
Firman
Allah, “Dan janganlah kalian mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik ynag tampak di antaranya maupun yang
tersembunyi.” (QS.Al-An’am: 151)
Para pakar tafsir mengatakan bahwa perbuatan keji
yang tersembunyi adalah dendam, riya, iri hati dan kemunafiakan.
b. Dalil
Hadis
·
Semua
hadis yang menjelaskan tentang laragan untuk dendam, riya, dengki, dan
sifat-sifat tercela
·
lainnya.
Juga hadis-hadis juga hadis yang memerintahkan untuk dengan baik.
·
Abu
Hurairah meriwayatkan dari Nabi s.a.w., beliau bersabda,
“Iman itu memiliki lebih dari tujuh puluh bagian. Yang paling
tinggi tingkatannya adalah ucapan “Tiada Tuhan selain Allah”. Yang paling
rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan(yang dilalui orang). Dan malu
adalah sebagian dari Iman.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Sejarah Perkembangan
Tasawuf
Dr.Ahmad Alwasy
berkata, “Banyak kalangan bertanya-tanya mengapa dakwah kepada tasawuf tidak
berkembang di awal era Islam, dan baru muncul setelah era sahabat dan tabiin.
Jawabannya, pada awal Islam dakwah kepada tasawuf belum diperlukan. Sebab, pada
era itu semua orang adalah ahli takwa, ahli wara dan ahli ibadah, berdasarkan
panggilan fitrah mereka dan kedekatan mereka dengan Rasululloh s.a.w. Mereka
semua berlomba untuk mengikuti dan meneladani Rasul dalam setiap aspek. Oleh
karena itu, mereka tidak membutuhkan ilmu yang membimbing mereka kepada sesuatu
yang benar-benar telah mereka kerjakan. Kondisi mereka ibarat seorang Arab
murni yang mengetahui bahasa Arab melalui warisan dari generasi pendahulu.
Meskipun para
sahabat dan tabiin tidak menggunakan kata tasawuf, akan tetapi secara praktis
mereka adalah para sufi yang sesungguhnya. Yang dimaksud dengan tasawuf tidak
lain adalah bahwa seseorang hidup hanya untuk Tuhannya, bukan untuk dirinya.
Ketiga masa tersebut adalah masa keemasan dan sebaik-baik masa dalam Islam Nabi
s.a.w. bersabda,
“Sebaik-baik masa adalah masaku ini, lalu
sesudahnya, lalu masa sesudahnya.”
(HR.Bukhari dan Muslim)
Para sufi generasi pertama telah membangun pondasi tarekat
mereka berdasarkan ilmu yang mereka ambil dari para ulama yang terpercaya,
sebagaimana terdapat dalam sejarah Islam.
Sejarah
perkembangan tasawuf dapat dilihat dengan jelas dalam sebuah fatwa yang
disampaikan oleh Muhammad Shadiq
al-Ghumari, seorang pakar dalam bidang hadis. Pada suatu hari, dia ditanya oleh
seseorang tentang siapa yang pertama kali mendirikan tasawuf, dan apakah
tasawuf berlandaskan pada wahyu samawi. Dia menjawab bahwa asas dari tarekat
adalah wahyu samawi yang merupakan bagian dari ajaran agama yang dibawa oleh
Nabi Muhammad. Tidak diragukan lagi bahwa tarekat atau tasawuf adalah maqam ihsan. Dan ihsan adalah salah satu
dari tiga elemen dasar agama, sebagaimana diterangkan oleh Rasul dalam sebuah
sabdanya setelah menjelaskan ketiga elemen dasar tersebut “Ini adalah Jibril yang datang untuk mengajari kalian tentang agama
kalian.”[5]
Ketiga elemen dasar agama tersebut adalah Islam, Iman, Ihsan.
3Tasawuf
Sebagai Penyempurna Akhlak
Manusia adalah mahluk ciptaan
Allah swt yang paling sempurna, karena manusia dibekali dua sistem pengndali
hidup yang berguna untuk bertahan dan berkutat melawan semua cobaan yang
diberikan oleh Allah swt kepada manusia itu sendiri. Ada ayat yang menjelaskan
tentang betapa sempurnanya manusia itu diciptakan oleh Allah yang bertujuan
untuk beribadah kepadanya. Seperti yang terdapat pada surat at-Tiin ayat 4,
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya
(at-Tiin:4).
Hawa nafsu dan pikiran adalah
dua anugerah yang ada dalam diri manusia, jika setan yang hanya diberikan hawa
nafsu dan malaikat tidak memiliki hawa nafsu atu diberikan suatu anugerah untuk
berfikir, maka manusia memiliki keduanya. Oleh sebab itu kedudukan manusia
sangatlah mulia dibanding dengan mahluk Allah lainnya. Akan tetapi, hal tersebut
bisa saja menjadi berubah, bahkan bisa lebih parah kedudukannya dengan bahkan
hewan sekaligus yang hanya mengikuti hawa nafsunya saja. Oleh karena itu
haruslah ada keseimbangan antar keduanya agar bisa selaras dan mampu mensyukuri
apa yang telah diberikan oleh Allah kepada kita.
Manusia yang paling mulia
sudah pasti manusia yang paling dapat mengejawantahkan aktivitas khasnya, juga
yang paling bisa mempertahankan aktivitas tersebut selamanya. Kalua manusia
yang terbaik diketahui, maka akan dapat diketahui bagaimana manusia yang paling
buruk, dengan cara melihat keburukannya.
Kesempurnaan akhlak adalah
sebuah tujuan yang diminati semua orang, akan tetapi hal itu tidaklah mudah
untuk didapat, karena sebuah proses yang panjang dan penuh rintangan bahkan
godaan sekalupun yag membuat manusia terkalahkan oleh endala-kendala tersebut.
Nabi Muhammad saw adalah suri tauladan dan pemimpin bahkan tokoh revolusioner
sekalipun yang menjadi perhatian umat manuisa. Beliau memiliki akhlak yang
sangat baik dan patut diacungi jempol karena kesabaran dan kepasrahan yang
total kepada Allah swt untuk mengabdikan hidupnya dan tidak tergiur oleh
kenikmatan-kenikmatan sesaat.
Tasawuf dikatakan sebagai
penyempurna akhlak karena tasawuf adalah sebuah sistem atau terapi qalbu yang dapat
menetralisir semua penyakit hati yang selalu mengerogoti kebaikan-kebaikan yang
ada di dalam qalbu. Tasawuf sangatlah penting dan memiliki peran penting dalam
agama Islam sebagai dasar atau sebuah syariat untuk tunduk kepada sang Maha
Pencipta. Bahkan Rasulullah pun bertasawuf selama hidupnya. Sebagaimana
dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa pada masa Nabi saw bukan tasawuf namanya.
Oleh karena itu ada banyak metode-metode untuk menyempurnakan akhlak untuk
mendekatkan diri keapada Allah agar mendapatkan syafaat-Nya di yaumul akhir.
Ada beberapa metode atau cara supaya bisa mencapai kesempurnaan
akhlak, yaitu:
1. Memiliki
niat yang kuat
Niat ibarat sebuah komitmen
untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya. Niat tersebut haruslah baik dan
karena Allah, karena niat yang buruk tentu akan tidak sesuai hasilnya dengan
apa yang diharapkannya.
2. Taat
menjalankan ibadah, baik ibadah lahir maupun batin.
Taat di atas adalah konsisten
melakukan ritual ibadah, baik yang bersifat esoteris maupun eksoteris. Kedua
hal tersebut haruslah seimbang karena ibadah yang tidak tulus atau tidak ikhlas
maka tidak akan ada apa-apanya dihadapna Allah.
3. Tidak
mengikuti hawa nafsu.
Meskipun hawa nafsu adalah
sebuah anugerah yang diberikan oleh Allah kepada manusia bukan berarti manuasia
harus mengikuti hawa nafsunya. Hawa nafsu terkadang mendorong manusia pada
keburukan yang berdampak fatal, seperti: mabok, pergaulan bebas bahkan
mendurhakai orang tua.
4. Selalu
mengutamkan kepentingan orang lain.
Pribadi yang baik dan
memiliki budi pekerti yang baik adalh pribadi yang selalu mengutamakan
kepentingan umu, tidak egois dan selalu bersimpati kepada orang yang
mendapatkan cobaan dari Allah swt.
5. Sabar
Menurut Ibnu Qoyyim sabar
dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, sabar terhadap perintah Allah hingga
melaksanakannya. Kedua, sabar terhadap larangna Allah hingga menjauhinya.
Ketiga, sabar terhadap ketentuan Allah hinnga menerimanya. Sedangkan menuruut
Imam al-Ghazali sabar secara terminologis adalah keteguhan pendorong agama
melawan hawa nafsu. Ada dua kesabaran: shobru
nafsi dan shobru badani. Dari
penjelasan di atas bahwa sabar bukanlah berdiam diri atau tidak bergerak sama
sekali. Artinya adalah, bahwa sabar adalah kunci terpenting yang tidak boleh
dilupakan ketika memiliki keinginan untuk merunbah sikap atu akhlak sehingga
kesabaran tersebut akan memudahkan kita dalam melakukan setiap kegiatan.
Sabar sebagai alat
pertolongan untuk berbagai hal, karena Allah sangat mencintai orang-oarang yang
sabar dan selalu beserta orang-orang yang sabar. Sebagaimana termaktub dalam
surat al-Baqarah ayat 153,
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan
(kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar
(al-Baqarah;153).
6. Tawakkal.
Menurut al-Ghazali tawakal
adalah keteguhan (amal) hati manusia dalam bergantung hanya kepada Allah. Dalam
proses pembentukan karakter diperlukan usaha yang besar. Namun, jika usaha itu
tidak disertai dengan doa dan berserah diri kepada Allah swt, maka hal tersebut
sama dengan menyombongkan diri di hadapan Allah. Mengapa demikian? Karena
segala sesuatu haruslah diiringi dengan doa dan tahap terakhir adalah
penyerahan diri kepada Allah terhadap apa yeng telah diperbuatnya.
Proses tawakal harus diiringi
dengan sikap optimisme kepada Allah swt yang akan memudahkan terhadap apa yang
diharapkannya. Dalam al-Quran banyak disebutkan bahwa Allah menyukai
orang-orang yang bertawakal, karena hal itu adalah sebuah simbol pengabdian
hamba-Bya kepada sang Khaliq. Dalam surat al-Thalaq ayat tiga menjelaskan
tentang betapa pentingnya bertawakal kepada Allah dan mempercayai dengan
toltalitas yang sepenuhnya terkait apa yang telah diusakannya.
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu (
al-Thalaq:3).
Ada banyak
manfaat yang akan didapat jika bertasawuf dengan penuh khidmat. Salah satunya
adalah dapt membantu dalam proses pembentukan karakter yang baik dan benar. Tasawuf
dijadikan media untuk menigkatkan kualitas pribadi manusia karena tasawuf
adalah cara yang sangat efektif dan jitu. Dalam dunia tasawuf kesempurnaan
akhlak yang berasal dari hati atau qalbu dapat mengantarkan manusia menuju sang
Maha Pencipta atau lebih dikenal dengan sebubat makrifatullah.
Oleh karena itu
tasawuf sangatlah penting dan mengandung nilai-nilai humanistik yang relevantif
dengan kehendak manusia untuk bermunajat dengan Tuhannya. Dengan syarat tidak
mengharapkan sesuatu kecuali kepada Allah swt.
4Tasawuf dan
Kehidupan Rohani
Demi masa. Sesungguhnya mansia benar-benar berada
dalm kerugain. Kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran (al-Ashr:1-3).
Kehidupan dewasa
ini telah berkembang menjadi demikian materialistis. Materi menjadi tolok ukur
segala hal, kesuksesan, kebahagiaan semuanya ditentukan oleh materi. Orang
berlomba-lomba mendapatkan materi sebanyak-banyaknya, karena dengannya manusia
merasa dirinya sukses. Akibatnya, manusia sering bertindak tanpa kontrol demi
materi. Semakin terlihat kecenderungan manusia menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuannya. Nilai-nilai kemanusiaan semakin surut, toleransi sosial dan
solidaritas sesama serta ukhuwah islamiya (di kalangan umat Islam) nampak
hilang dan mamudar, manusia cenderung semakin individualis. Di tengah suasana
itu, manusia merasakan kerinduan akan nilai-nilai ilahiah. Nilai-nilai
berisikan keluhuran inilah yang dapat menuntun manusia kembali kepada
nilai-nilai kebaikan yang pada dasarnya fitrah
(sifat dasar) manusia.
Menurut ajaran kaum Sufi, selama manusia belum bisa keluar
dari kungkungan jasmani/materi selama itu pula dia tidak akan menemukan
nilai-nilai rohani yang dia dambakan.
Untuk itu dia harus berusaha melepaskan rohnya dari kungkungan
jasmaninya. Untuk itu harus ditempuh dengan jalan riyadah (latihan) yang memakan waktu cukup lama. Riyadah juga bertujuan untuk mengasah
rohnya supaya tetap suci. Naluri manusia selalu ingin mencapai yang baik dan
semurna dalam mengarungi kehidupan nya. Untuk mencapai kebaikan dan
kesempurnaan ini tidak dapat dilalui dengan mempergunakan ilmu pengtahuan saja,
karena ilmu adalah produk manusia dan hanya merupakan alat terbatas. Manusia
akan merasa kehilangan dan kekosongan kalau hanya mengandalkan ilmu materi
saja. Jalan menuju kebahagiaan yang hakiki hanya dengan iman yang kokoh,
perasaan hidup yang aman bersama Tuhan.
Kalau tauhid
sebagai fitrah manusia, ini berarti bahwa naluri manusia itu bertuhan. Sebab
itu manusia adalah makhluk yang senantiasa mendambakan dan merindukan
kebenaran, ingin selalu mengikuti ajaran-ajaran Tuhan, karena kebenaran itu tidak
akan dicapai kecuali dengan Tuhan sebagai sumber kebenaran yang mutlak.
Kehidupan rohani
merupakan fitrah manusia yang dibawa sejak lahir sebagaimana yang diajarkan
oleh kaum Sufi. Salah satu bukti bahwa Allah menciptakan kehidupan fitri dan
alami, Dia telah mengirimkan tanda-tanda-Nya yang dibawa oleh para rasul, nabi
dan rohaniawan. Para rohaniawan ini selalu berusaha mensucikandirinya dari
noda-noda rohani dan menghiasi dirinya dengan sifat dan perangai yang mulia.
Mereka juga mengajak manusia agar selalu mengikuti ajaran Tuhan sebagaimana yang
mereka tunjukkan. Oleh karena itu asal manusia adalah fitrah, bersih, tidak mempunyai noda dan dosa, maka kegiatan
sebagian manusia untuk melakukan usaha pensucian diri adalah juga merupakan
naluri manusia. Dan ajakan mereka terhadap umat agar mereka selalu berada di
jalan Tuhan dan mengajak mereka yang tersesat jalan karena pengaruh lingkungan
untuk kembali kepada jalan yang benar merupakan usaha untuk mengembalikan
manusia kepada asal kejadiannya. Seandainya manusia itu pada tabiatnya adalah
jahat, maka usaha para rohaniawan itu secara alami melawan tabiat asli manusia;
hal ini tidak logis bagi Allah swt dalam mengirim para nabi dan rasul. Usaha
pensucian diri untuk kembali kepada asal kejadiannya ini banyak dilaksanakan
dan dianjurkan oleh kaum sufi.
Sesungguhnya
tujuan akhir manusia adalah mengikat lingkaran rohaninya denagn Allah swt
sebagai hubungan yang selamanya benar apabila orang hanya merasa bahwa
akalnyalah satu-satunya yang menjadi iman dan pemberi petunjuk, dia jauh dari
pembicaraan kegiatan kehidupan rohani, merasa bangga karena sudah merasa
memiliki kemewahan dunia, maka orang tersebut kata Huxley setingkat dengan binatang. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
kehidupan rohani untuk mendekatkan seseorang kepada Allah, yang hal ini banyak
diatur dalam kehidupan tasawuf. Kehidupan yang hanya bersandar kepada kebenaran
adalah kehidupan yang semu, sedangkan kehidupan ynag berlandaskan rohani dan
fitri adalah kehidupan yang hakiki.
Kemuliaan derajat
manusia, kemungkinan-kemungkinan dan bahaya-bahayanya yang besar serta
kodratnya mendamba Tuhan yang langgeng dengan begitu berurat-berakar dalam
kehidupan manusia. Bila manusia merupakan satu-satunya “kejadian terbaik” dan
hanya ia yang dapat berdiam di surga tempat yang sangat dekat dengan Tuhan dan
memiliki persamaan dengan rupa asli kemalaikatannya, pastilah takkan ada damba
mistik dalam arti yang lazim bagi istilah itu. Tentu segera terwujud persatuan;
tujuan yang selalu terpancang di akhir kehidupan mistik dan kerohanian pasti
dengan segera tercapai. Begitu juga jika manusia hanya makhluk dunia lahir,
terikat dorongan hawa nafsu dan terikat oleh kecenderungan-kecenderungan
jasmaninya saja, atau dengan kata lain bila ia hanya bertalian dengan keadaan asfala safilin, sekali lagi tentu tak
akan mungkin ada damba mistik, suatu kecenderungan sifat asasi manusia dan
merupakan bidang garapan ajaran tasawuf.
5Isi Pokok
Ajaran Tasawuf
1.
Tasawuf Akhlaki
Dalam
pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu. Manusia
dikendalikn oleh dorongan-dorongan nafsu pribadi, bukan manusia yang
mengendalikan hawa nafsunya. Ia cenderung ingin menguasai dunia atau berusaha
agar cerkuasa di dunia. Cara hidup seperti itu menurut al-Ghazali, akan membawa
manusia ke jurang kehanuran moral. Sebab sadar atu tidak, lambat atau cepat,
manusia akan terbawa kepada pemujaan dunia. Kenikmatan hidup di dunia akan
menjadi tujuan utama, bukan sebagai jembatan atau sarana untuk menuju
kebahagiaan dan kenikmatan yang hakiki.
Sebenarnya, manusia tidak boleh mematikan sama sekali
hawa nafsunya, tetapi ia harus menguasainya agar nafsu itu tidak sampai membawa
kepada kesesatan. Nafsu adalah salah satu potensi yang diciptakan Tuhan di
dalam diri manusia agar ia dapat hidup lebih maju, penuh kreativitas, dan
bersemangat. Jika manusia tidak mempunyai nafsu, tidak akan ada kemajuan dalam
kehidupan mereka, tidak ada kompetisi di antara mereka untuk memenuhi tuntutan
hidup yang selalu berkembang setiap saat.
Rehabilitasi
kondisi mental yang tidak baik, menurut orang sufi, tidak akan berhasil baik
apabila terapinya hanya dari aspek lahiriah. Itulah sebabnya, pada tahap-tahap
awal memasuki kehidupan tasawuf, seorang murid diharuskan melakukan amalan dan
latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk menguasasi hawa
nafsu dalam rangka pembersihan jiwa untuk berada di hadirat Allah. Tindakan
manusia yang dikendalikan oleh hawa nafsu dalam mengejar kehidupan duniawi,
merupakan tabir penghalang antara manusia dan Tuhan. Sebagai usaha menyikap
tabir penghalang antara manusia dengan Tuhan, ahli tasawuf membuat sistem yang
tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yag dinamakan takhalli, tahalli, dan tajalli,
yang masingmasing akan diuraikan sebagai berikut[6]:
Takhalli
Takhalli, berarti membersihkan diri
dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin. Dari
sifat-sifat tercela yang mengotori jiwa (hati) manusia ialah hasad (dengki), hiqd (rasa mendongkol), su’u
al-al-zann (buruk sangka), takabbur (sombong),‘ujub (membanggakan diri), riya’ (pamer), bukhl (kikir), dan ghadab (pemarah).dalam
hal ini Allah swt berfirman;
Sesungguhnya berbahagialah orangyang mensucikan jiwanya,
dan rugilah orang yang mengotorinya.,(QS. 91;9-10).
Takhalli juga berarti mengosongkan diri
dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat
dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya da
berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat.
Membersihkan
diri dari sifat-sifat yang tercela, oleh orang-orang sufi dipandang penting
karena sifat-sifat itu merupakan najis
maknawi (najasah ma’nawiyah). Adanya najis-najis ini pada diri seseorang
menyebabkan ia tidak mungkin dekat kepada Tuhan, sebagaimana kalau mempunyai
atau melakukan ibadah yang diperintahkan Tuhan.
Maksiat
batin yang terdapat pada manusia tentulah lebih baebahaya lagi, karena ia tidak
kelihatan seperti maksiat lahir; dan kadang-kadang kurang disadari. Maksiat ini
lebih sukar untuk dihilangkan. Perlu diketahui, bahwa maksiat batin itu pula
yang menjadi penggerak maksiat lahir. Selama maksiat batin itu belum bisa
dihilangkan, maka selama itu pula maksiat lahir tidak bisa dibersihkan.
Tahalli
Tahalli, yakni mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan
taat lahir dan taat batin. Dalam hal ini Allah swt berfirman;
Sesunnguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS.16:90).
Tahalli juga berarti menghiasi diri
dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik.
Berusaha agar dalam setap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan
agama, baik kewajiban yang bersifat “luar” atau ketaatan lahir maupun yan
bersifat “dalam” atau ketaatan batin. Yang dimaksud dengan ketaatan lahir/luar,
dalam hal ini, adalah kewajiban yang bersifat formal seperti shalat, pusas,
zakat, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan ketaatan batin/dalam
adalah seperti iman, ikhlas dan lain sebagainya.
Tahalli ini merupakan tahap pengisisan
jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli.
Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan
sikap mental yang tidak baik dapat dilalui (takhalli),
usaha itu harus berlanjut terus ke tahap berikutnya yang disebut tahalli. Sebab, apabila satu kebiasaan
telah dilepaskan tetapi tidak ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat
menimbulkan frustasi. Prakteknya, pengisian jiwa dengan sifat-sifat yang
baiksetelah dikosongkan dari sifat-sifat yang buruk, tidaklah berarti bahwa
jiwa harus dikosongkan lebih dulu, baru kemudian diisi. Akan tetapi harus
dengan cara, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk bersamaan dengan itu
diisi dengan kebiasaan yang baik. Atau seperti mengobati suatu penyakit, bahwa
hilangnya suatu penyakit pada seseorang karena adanya atau masuknya obat ke
dalam tubuhnya.
Manusia
yang mampu mengosongkan hatinya dari dari sifa-sifat yang tercela (takhalli) dan mengisinya dengan
sifat-sifat yang terpuji (tahalli),
segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat yang
ikhlas. Ia ikhlas melakukan ibadah kepda Allah, ikhlas mengabdi kepada
kepentingan agamanya, ikhlas bekerja untuk melayani kepentingan masyarakat
negaranya. Ikhlas berbuat kebaikan, memberi pertolongan dan bantuan kepada
sesama. Artinya tanpa mengharapkan suatu balasan atau embel-embel lain seperti
kata peribahasa: Ada udang di balik batu. Seluruh hidup dan gerak kehidupannya
diikhlaskan untuk mencari kerelaan Allah semata. Karena itulah manusia yang
seperti ini dapat mendekatkan diri kepada-Nya.
Tajalli
Tajalli, berarti terungkapnya nur gaib untu hati. Dalam hal ini kaum
sufi mendasarkan pendapatnya pada firman Allah swt:
Allah adalah nur (cahaya) langit dan bumi (QS. 24:35).
Mustafa
Zahri dalam bukunya kunci Memahami Ilmu
Tasawwuf merumuskan arti tajalli sebagai
berikut; “Tajalli ialah
lenyapnya/hilangnya hijab dari
sifat-sifat kebasyariahan (kemanusiaan), jelasnya nur yang selama itu gaib, fananya/lenyapnya segala yang lain ketika
nampaknya ajah Allah.”[7]
Imam
al-Ghazali pernah mengatakan bahwa “tersingkapnya hal-hal yang gaib yang
menjadi pengetahuan kita yang hakiki karena nur
yang dipancarkan Allah ke dalam dada (hati) seseorang” . tegasnya beliau
berkata: Hal itu tidaklah didapat dengan menyususn dalil dan menata
argumentasi, tetapi karena nur yang
dipancarkan Allah ke dalam hati; dan nur ini
merupakan kunci untuk sekian banyak pengetahuan. Maka barangsiapa megira bahwa
tersingkapnya itu tergantung pada dalil-dalil semata, maka sesungguhnya dia
telah menyempitkan rahmat Allah yang luas”. Ketika Rasulullah saw ditanya
tentang arti “melapangkan dada” dalam firman Allah swt :
Barangsiapa
yang hendak diberi Allah petunjuk, maka dilapangkanNya dadanya untuk Islam (QS.
6:125).
Beliau berkata: “itu adalah nur yang dimasukan Allah ke dalam hati”.
Kemudian ketika ditanya tentang tanda-tandanya, beliau menjawab: “Menjauhi
dunia yang menipu dan menghadap dengan spenuh hati ke alam abadi”. Dalam
hubungan ini beliau berkata pula: Allah swt telah menciptakan seluruh makhluk
dalam kegelapan, lalu dipercikanNya mereka sebagian dari nurNya. Dengan nur inilah
seharusnya dicari kasyf. Nur ini memancar
dari kemurahan Ilahi pada waktu-waktu tertentu, dimana orang harus berjaga-jaga
untuk menerimanya. Rsasulullah saw bersabda: “Ada saat-saat tiba karunia dari
Tuhanmu, maka siapkanlah dirimu untuk itu”.
[8]
Jalan
kepada Allah itu, menurut kaum sufi terdiri dari dari dua usaha. Pertama, mulazamah, yaitu terus-menerus berada
dalm dzikir kepada Allah; Kedua, mukhalafah, yaitu terus-menerus
menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapt melupakanNya. Keadaan ini
dinakamakan safar kepada Tuhan. Ia
tidaklah merupakan suatu gerak dari satu pihak, tidak dari pihak yang datang
(hamba) dan tidak pula dari pihak yang didatangi (Tuhan), tetapi pendekatan
dari keduamya, sebagai mana firman Allah swt:
Kami ini
lebih dekat kepadanya daripada urat lejernya sendiri
(QS. 50:16).
Perumpamaan
lain dikemukakan antara yang mencari (manusia) dengan yang dicari (Tuhan)
adalah seperti seseorang dengan cermin muka. Orang akan tergambar dalam cermin
muka itu, Itajalli, tidak usah dengan
melenyapkan dirinya dari dalam cermin itu, tetapi cukup dengn menghadapinya,
tidak dengan membawa gambar ke muka cermin atau memindahkan cermin ke muka
gambar, tetapi dengan menghilangkan noda, kotoran atau tabir yang menjadi
penghalang antara orang itu dengan cermin.
Orang-orang
sufi berpendapat bahwa untuk mencapai tingkat kesempurnaan kesucian jiwa itu
hanya dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa
kecintaan itu. Dengan kesuciaan jiwa ini, maka akan terbuka jalan untuk mencapai
Tuhan. Tanpa jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan itu dan yang
dilakukan tidak dianggap perbuatan baik
atu amal saleh.
Untuk
melestarikan dan memperdalam rasa ketuhanan, ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi,
antara lain adalah:
a. Munajat
Secara
sederhana kata ini mengandung arti melaporkan diri kehadirat Allah atas segala
aktivitas yang dilakukan. Menyampaikan laporan, yang baik maupun yang buruk
dengan cara khas seorng sufi. Dalam munajat itu, disampaikan segala keluhan,
mengandung nasib dengan untaian kalimat yang indah seraya memuji keagungn
Allah. Ini adalah salah satu bentuk doa yang diucapkan dengan sepenuh hati
disertai dengan deraian air mata dan dengan bahasa yang puitis. Tangis karena
merasa banyak kekurangan, berarti air mata karena rasa rindu ingin berjumpa
dengan Tuhan.
b. Muraqabah dan Muhasabah
Menurut Imam
al-Ghazali, perkataan muraqabah sama
artinya dengan ihsan. Dan menurut Abu
Zakaria Ansari, kata muraqabah jika
dilihat dari segi bahasanya (etimologi) dapat diartikan dengan selalu
memperhatikan yang diperhatikan. Sedangkan meurut istilahnya (terminologi),
dikatakan: “Senantiasa memandang dengan hati kepada Allah dan selalu
memperhatikan pa yang diciptakanNya dan tentang hukum-hukuNya”. Jadi, sesuai
dengan pengertian ini bahwa muraqabah itu
merupakan suatu sikap mental yang senantiasa melihat dan memandang, baik dalam
keadaan bangun/jaga atau tidur, baik dalam keadaan bergerak atau diam, baik di
waktu lapang atau susah. Pendek kata, dimana pun dan kapan pun kita senantasa
berhdapan dengan Tuhan; atau terasa senantiasa kita diawasi olehNya.
c.
Memperbanyak
Wird dan Dzikir
Memperbanyak
wird dan dzikir merupakan suatu keharusan bagi seseorang yang ingin
mendekatkan diri kepada Allah swt dan ini merupakan ciri khas dari kehidupan
seorang sufi. Karena itu Ibrahim Hilal memasukkannya sebagai salah satu unsur
untuk definisis tasawuf. Secara umum beliau mengatakan: Tasawuf itu adalah
bermacam-macam ibadah, wird dan
lapar, berjaga di waktu malam dengan memperbanyak shalat dan wird, sehingga lemahlah unsur jasmaniah
dalam diri seseorang dan semakin kuatlah unsur rohianinya[9].
Menurut orang sufi, dzikir itu terbagi
atas tiga tingkat:
1. Dzikir lisan, atau disebut juga dzikir nafi isbat, yaitu ucapan lailaha illa’llah (tiada Tuhan selain
Allah).
2. Dzikir qalb,
disebut juga dzikir, yaitu ucapan Allah, Allah.
3. Dzikir sirr, disebut juga dzikir isyarat dan nafs, yaitu
berbunyi: Hu, Hu.
Disamping itu, dzikir memiliki dampak terhadap sifat dan sikap dalam hidup dan kehidupan
manusia, yaitu:
1. Memperlunak
hati seseorang sehingga ia cenderung untuk bersedia menerima dan mengikutinya.
2. Membangkitkan
kesadaran bahwa Allah Maha Pengatur dan apa yang ditetapkanNya adalah baik,
hanya mungkin manusia yang tidak mampu menangkapnya.
3. Meningkatkan
mutu apa yang dikerjakan, karena Allah tidak menilai suatu perbuatan dari segi
lahirnya saja, tetapi Dia menilainya dari segi motif dan keikhlasannya.
4. Memelihara
diri dari goaan setan, karena setn hanya dapat menggoda dan menipu orang yang
lalai kepada Allah.
5. Memeliharanya
dari berbuat kemaksiatan, karena selama ingat kepada Allah ia tidak akan
berbuat sesuatu yang dilarangNya.
d. Mengingat Mati
Menginagt
mati kapan dan dimana pun adalah satu hal yang sangat penting. Orang sufi
berkeyakinan bahwa ingat akan mati dan hidup kembali di akhirat termasuk
rangkian aktivitas rohani yang perlu dibina. Setiap saat orang perlu menyadari
kematian, sebab dengan melekatnya ingatan pada mati, akan menimbulkan
rangsangan untuk mempersiapkan diri menghadapinya. Kesadaran akan datangnya
maut, merupakan pendorong bagi seseorang untuk bekerja keras sekuat daya untuk
melakukan hal-hal menguntungkan dan menghindari hal-hal yang merugikannya di
alam akhirat. Dampaknya adalah mengingatkan sesorang kepda peristiwa yang akan
dihadapinya di alam barzah. Sikap
kasar, nafsu serakah dan sifat tamak akan dapat dikikis habis apbila kesadaran
dan ingat akan mati selalu terpateri dalam jiwa.
2.
Tasawuf Amali
Sebenarnya
tasawuf amali ini merupakan lanjutan dari tasawuf akhlak, karena sesorang tidak
bisa dekat dengan Tuhan dengan dengan amalan yang ia kerjakan sebelum ia
membersihkan jiwanya. Jiwa yang bersih merupakan syarat utama untuk bisa
kembali kepada Tuhan, karena Dia adalah zat yang bersih dan suci; dan hanya
menginginkan/menerima orang-orang yang suci. Dalam hal ini Allah swt berfirman:
Dan Allah menyukai orang-orang yang
bersih (QS. 9:108).
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang taubat dan menyukai orang-orang yng mesucikan diri (QS. 2:222).
Dalam
pengamalan ajaran tasawuf, ada bebrapa istilah praktis yang perlu dijelaskan.
Hal ini merupakan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan ajaran tasauf sebagai
upaya mendekatkan diri kepada Tuhan.
A. Beberapa
Istilah Praktis
Apabila
dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang dipelajari, maka terdapat
beberapa istilah yang jkhas dalam ilmu tasawuf. Orang sufi membagi ajaran agama
itu ada yang mengandung arti lahiriah dan arti batiniah. Oleh karena itu cara
memahami dan mengamalkannya juga harus melalui aspek lahir dan aspek batin.
Kedua aspek yang terkandung dalam ilmu agama tersebut mereka bagi menjadi empat
kelompok, yaitu:
1. Syari’ah
Syari’ah artinya undang-undang atau garis-garis yang telah
ditentukan termasuk di dalmnya hukum-hukum halal dan haram, yang disuruh dan
yang dilarang, yang sunnat, yang makruh dan yang mubah. Syari’ah dipandang oleh kaum sufi sebagai ajaran islam yang
bersifat lahir (eksoterik). Karena
itu, mengerjakan syari’ah berarti
mengerjakan amalan-amalan yang lahir (badaniah) dari ajaran atau hukum-hukum
agama, seperti shalat, puasa zakat, haji, berjihad di jala Allah, meurut ilmu
pengetahuan dan lain sebagainya. Tegasnya syari’ah
itu adalah segala peraturan agama yang bersumber dari kitab suci al-Quran
dan al-Hadits. Allah swt berfirman:
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan
dan jalan yang terang (QS. 5:48).
Menurut orang-orang sufi syari’ah diartiakn sebagai amalan-amalan
lahir yang difardukan dalam agama, yang biasanya dikenal dengan rukun islam;
dan segala hal yang berhubungan dengan itu, yang bersumber dari al-Quran dan
al-Hadits. Karena itu, bag seorang yang ingin memasuki dunia tasawuf harus lebih
dahulu mengetahui secara mendalam tentang isi ajaran al-Quran dan al-Hadits
yang dimulai dengan amlan lahir, baik yang wajib maupun yang sunnat.
Kaum sufi memperlakukan
ibadah dengan cara yang khas/karakteristi sufi. Orang yang melakukan ibadah
tanpa memperhatikan maknanya yang tersirat, makna batiniahnya, menurut orang
sufi tak ubahnya dengan anak kecil yang
membaca buku tanpa ada pengertiannya. Kehidupan agamnay hampa, sebab hatinya
kosong. Kalau orang itu shalat atau dzikir,
hatinya hanya berisi nama Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Bagi sufi, apabila ia
shalat, disamping ia harus meakukannya sesuai dengan ketentuan syari’at,
jiwanya juga harus diarahkan kepada makna spiritual dari ibadah itu. Shalat
bukanlah hanya berupa sejumlah kalimat yang harus diucapkan, gerakan-gerakan
jasmani yang harus dikerjakan, tetapi ia dilakukan sebagai suatu dialog
spiritual antara manusia dengan Khaliqnya, antara ;bid dengan ma’bud. Semua
gerakan dan kalimat itu adalah simbol yang maknanya merupakan bagian dari
pembicaraan batiniah. Begitu pula dengan ibadah haji, bukanlah hanya sekedar
perjalanan ke Baitullah, tetapi ia adalah sebuah perjalanan spiritual manusia
menuju Tuhan. Setiap tata cara dalam ibadah, seperti tawaf, wukuf di Arafah,
menyium Hajar al-Aswad, adalah lambang yang mengandung makna spiritual yang
dalam. Setiap gerakan dan kata yang diucapkan harus disertai gerakan qalbu yang
paling dalam.
2.
Tariqah
Dalam
melakukan syari’ah tersebut di atas
haruslah berdasarkan tata cara yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan
hanya karena penghambatan diri kepada Allah, karena kecintaan kepada Allah dan
karena ingin berjumpa denganNya. Perjalanan menuju kepada Allah itulah yang
mereka maksud dengan tariqah, atau taraiqah tasawuf. Perjalanan ini sudah
mulai bersifat batiniah, yaitu amalan lahir yang disertai amalan batin.
Menurut
keyakian sufi, orang tidak akan sampai kepada hakikat tujuan ibadah sebelum
menempuh jalan ke arah itu. Jalan itu dinamakan tariqah, dalam bahasa kita diucapkan tarekat atau suluk, dan orang
yang melakukan itu dinamakan ahli tariqah
atau salik.
Untuk
itu, maka ditetapkanlah ketentuan-ketentuan yang bersifat batiniah agar
pelaksanaan ketentuan-ketentuan lahiriah itu dapat mengantarkan seseorang
kepada akhir perjalanannya yaitu melalui tahap demi tahap dan situasi demi
situasi, yang kemudian dikenal dengan istialh maqamat dan ahwal.
Menurut
kaum sufi, kehidupan di alam ini penuh dengan rahasia-rahasia. Rahasia-rahasia
itu tetutup oleh dinding-dinding. Di antar dinding-dinding iitu adalah hawa
nafsu kita sendiri, keinginan dan kemewahan hidup duniawi. Tetapi rahasia itu
mungkin terbuka dan dinding (hijab)
itu mungkin tersingkap dan kita dapat melihat atau merasai atau bahkan
berhubungan langsung dengan yang rahasia, asal kita mau menempuh jalannya. Jalan
itulah yang dinamakan tariqah, sesuai
dengan firman Allah swt:
Dan bahwasanya jika mereka tetap (istiqamah) menempuh
jalan (tariqah, sesungguhnya akan kami beri minum mereka dengan air yang
berlimpah ruah (rezeki yang banyak). (QS. 72:16).
3. Haqiqah
Secara
etimologi, haqiqah berarti inti
sesuatu, puncak atau sumber asal dari sesuatu. Dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain
dari syari’ah yang bersifat lahiriah,
yaitu aspek batiniah. Dengan demikian dapat diartikan sebagai rahasia yang
paling dalam dari segala amal, inti dari syari’ah
dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.
Haqiqat juga dapat berarti kebenaran sejati dan mutlak, sebagai
akhir dari semua perjalanan, tujuan segala jalan. Tariqah dan haqiqah, tak
dapat dipisahkan, bahkan sambung menyambung antara dengan yang lain.
Pelaksanaan ajaran islam tidak sempurna, jika tidak dikerjakan secara
integratif tentang empat hal, yaitu syari’ah,
tariqah, haqiqah dan ma’rifah. Maka
apabila syari’ah merupakan peraturan,
tariqah merupakan pelaksanaan, haqiqah merupakan keadaan, maka ma’rifah merupakan tujuan, yakni
pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya.
Menurut
keyakinan orang sufi, haqiqah itu
baru dapat dicapai setelah seseorang memperoleh ma’rifah yang sesungguhnya. Oleh karena itu haqq al-yaqin hanya dapat dicapai orang yang dalam keadaan fana’, yang dapat yaitu setelah melalui
dua tingkat keadaan, yaitu ‘ain al-yaqin dan
‘ilm al-yaqin. Selanjutnya hanya
orang yang dalam keadaan matahatinya; dan memperolehnya secara haqq al-yaqin, karena hanya dalam
keadaan yang demikian itulah terbuka baginya apa yang tertutup, tersingkap
tirai yang merintangi seorang hamba dengan Tuhannya[10].
Apabila tariqah itu telah dijalani dengan
segenap kesungguhan; dan setia memegang segala syarat dan rukunnya, akhirnya
tentu bertemulah dengan haqiqah. Mulanya
tercapailah kasyf, yaitu terbuka
“rahasia” yang selama ini tertutup didnding yang ada di antara kita dengan Dia
adalah hawa nafsu dan kecenderungan duniawi. Itulah gunanya tajarrud, melepaskan segala atas diri.
Apabila rohani telah mencapai kesempurnaannya, takluklah jasmani kepada
kehendak rohani. Pada waktu itu tidak ada lagi sakit, tidak ada lagi miskin[11].
4. Ma’rifah
Secara etimologi, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengenalan. Sedangkan dalam
istilah sufi, ma’rifah itu diartikan
sebagai pengetahuan menegnai Tuhan melalui hati (qalb). Penegtahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga
jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi di
dalam kitabnya Al-Luma’ mengatakan
bahwa ma’rifah itu merupakan
pengenalan hati terdapat obyek-obyek yang menjadi sasarannya[12] .
inilah, menurut al-Ghazali, penegtahuan yang meyakinkan dan merupakan
pengetahuan yang hakiki.
Menurut Ibn
Atailllah, ma’rifatullah adalah
melihat Allah dengan pandangan mata hati, dengan pandangan batin, bukan dengan
pandangan mata kepala. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw pernah bersabda:
“Hai Abu Dzar, sembahlah Allah seakan-akan kamu melihatNya. Dan jiak kamu tidak
melihatNya, sesungguhnya Dia melihat kamu”[13].
Menurut
orang sufi, ma’rifah adalah sifat
orang yang mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah. Sebagai bukti
pengenalannya ialah ketaatanya kepadaNya dengan menjalankan amal saleh dan
meninggalkan perbuatan yang tercela; selalu ingat kepadaNya. Dengan demikian
Allah akan mencintainyadan memberinya karunia, taufik dan hidayah sehingga ia
tidak dapat dipalingkan oleh siapa pun ke arah yang tidak diridaiNya.
Dengan
demikian, ma’rifah itu dapat dicapai
melalui syari’ah, menempuh tariqah dan memperoleh haqiqah. Apabila syari’ah dan tariqah itu
sudah dapat dikuasai, maka timbullah haqiqah
yang tidak lain daripada perbaikan keadaan (ahwal), sedangkan tujuan terakhir adalah ma’rifah yaitu mengenal Allah dan mencintaiNya dengan sesungguhnya.
B. Jalan
Mendekatkan Diri Kepada Allah
Untuk berada
ddekat pada Allah, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi station-station, yang disebut maqamat (bentuk jamak dari maqam). Disamping istilah maqamat ini, dalam literatur tasawuf
terdapat pula istilah ahwal (bentuk
jamak dari hal).
1. Maqamat
Seperti
telah disebutkan di atas, perkataan maqam
dapat diartikan dengan station, tahapan,
tingkatan, yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi. Abu
Nasr al-Sarraj al-Tusi mengatakan sebagai tingkatan seorang hamba di sisi Allah
swt yang diperolehnya karena ibadah,
mujahadah, riyadah, dan putusnya hubungannya dengan selain Allah.
Dengan
demikian, maqam adalah hasil dari
kesungguhan dan perjuangan yang terus-menerus. Ini berarti bahwa seseorang baru
dapat berpindah dan naik dari satu maqam ke
maqam yang lebih tinggi setelah
melalui latihan dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik lagi; dan
telah pula menyempurnakan syarat-syarat yang harus ada pada maqam di bawahnya. Sebagai contoh
al-Qusyairi berkata: “Barangsiapa yang belum menyempurnakan maqam qana’ah, ia tidak akan dapat
mencapai maqam tawakal dan
barangsiapa yang belum menyempurnakan maqam
tawakal, ia tidak akan dapat mencapai maqam
taslim. Demikian juga kalau belum sempurna maqam taubah ia tidak dapat mencapai maqam inabah dan sebelum sempurna maqam wara’, tidak akan mencapai maqam zuhd.” Sikap hidup yang demikian itu nampak kelihatan pada akhlak
seseorang, atau pada tindak-tanduknya dan amal perbuatannya sehari-hari. Dengan
demikian, maqam itu ialah tingkatan
sikap hidup yang telah dapat dicapai sesorang dengan kesungguhan dan latihan
ynag terus-menerus.
a. Taubah
Menurut
orang suf, yang menyebabkan manusia jauh dari Allah adalah karena dosa, sebab
dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai yang
suci. Oleh karena itu, apabila sesorang ingin mendekatkan kepadaNya, maka ia
harus terlebih dahulu membersihkan dirinya dari segala macam dosa dengan jalan
bertaubah.
Taubah merupakan tahapan pertama yang harus dilewati oleh
seorang pengamal ajaran tasawuf. Inilah yang disebut sebagai perubahan
(konversi) dan merupakan pertanda dari kehidupan baru. Penyesalan atau taubah merupakan kebangkitan jiwa dari
nyenyaknya ketidakperdulian, sehingga mereka yang merasa penuh dosa menyadari
dari tindakannya yang jelek dan merasa menyesal atas segala kesalahan dan
kekeliruannya pada masa lalu. Namun, ia tetap dianggap belum bertaubat, hingga:
(1) ia segera meninggalkan dosa, baik yang disadari atau tidak, dan (2)
berjanji (dalam hati) bahwa ia tidak akan mengulangi dosa-dosa tersebut di masa
mendatang.
Imam
al-Ghazali membagi dosa menjadi tiga macam, yaitu: (1) dosa karena meninggalkan
kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, zakat, haji, (2) dosa
terhadap Allah sepertimeminum minuman keras dan memakan riba, dan (3) dosa
terhadap sesama manusia baik yang berhubungan dengan jiwa, harta, kehormatan
dan lain sebagainya.
Secara
etimologi, taubah menurut Imam
al-Ghazali dapat diartikan dengan “kembali”, yakni kembali dari kemaksiatan
kepada ketaatan, kembali dari jalan yang jauh ke jalan yang lebih dekat.
Kemudian menurut rumusan para ulama, yang dimaksud dengan taubah ialah pembersihan hati dari segala dosa. Imam al-Haramain
mengatakan, taubah ialah meninggalkan
keinginan untuk kembali membuat kejahatan seperti yang pernah dibuatnya, karena
membesarkan Allah dan menjauhkan dari kemurkaaNya.
Seorang guru
tasawuf akan memberi tahu kepada para pengikutnya untuk bersifat rendah hati
dan menyesali dosa-dosanya, yang merupakan pengembalian kedaulatan kepada
kesucian rohani. Tetapi ia juga harus yakin bahwa taubah yang sesungguhnya termasuk melupakan segalanya termasuk
kepad dosa-dosanya, kecuali ingatan kepada Tuhan.
Orang ynag
bertaubah, kata Hujwiri, adalah orang yang amat mencintai Allah; dan cinta
kepadaNya akan bergelora ketika sedang mengingatNya. Suatu kesalahan ketika
dalam kontemplasi (mengingat, dzikir)
kita mengingat dosa-dosa. Menumpuknya dosa-dosa akan merupakan penghalang antara
Tuhan dengan mereka yang sedang berdzikir. Perlu diingat, bahwa dalam hal ini
termasuk juga dosa terhadap diri sendiri, yang dipandang sebagai dosa terbesar.
Karena itu, untuk melupakan dosa maka harus melupakan diri sendiri. Ini adalah
slah satu penerapan prinsip ynag terdapat pada seluruh sistem etika tasawuf.
b. Zuhd
Menurut
pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan dan kelezatannya adalah
sumber kemaksiatan dan peneyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa. Oleh
karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebi dahulu menjadi zahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah tidak
akan berhasil apabila hati dan keinginannya
nasih terikat kepada kesenangan duniawi.
Menurut
Ibn Qudamah al-Muqaddasi zuhd ialah
“pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik”. Menurut
Imam al-Ghazali, “zuhd ialah
mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauhi daripadanya dengan penuh
kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan”. Imam al-Qusyairi mengatakan, “zuhd ialah tidak merasa bangga dengan
kemewahan dunia yang telah ada tantangannya dan tidak merasa bersedih dengan
hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.
Menuntut
dan mengejar dunia tidaklah dilarang dan tidak pula dicela dalam ajaran
islam.bahkan kadang-kadang menuntut dan menguasai dunia ini menjadi suatu
keharusan, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang utama. Sedang lebih
dari itu, dapat dihukumkan sunnat, namun yang sunnat ini dapat menjadi tercela.
Orang sufi mengatakan, apabila menuntut dunia itu hanya untuk berbangga-bangga
dan bermewah-mewahan, supaya dilihat dan ditonton orang, maka ynag demikian itu
tercela. Tetapi kegembiraan terhadap dunia ynag telah didapatnya karena
menganggap itu adalah nikmat Allah, maka yang demikian itu tidaklah tercela.
Ahmad
bin Hanbal, seperti yang dinukil Imam al-Qusyairi, mengatakan, zuhd terbagi kepada tiga macam: (1)
meninggalkan yang haram, inilah zuhudnya orang awam, (2) meninggalkan segala
yang berlebih-lebihan dari yang halal, inilah zuhudnya orang khawas, dan (3) meninggalkan segala yang
akan menyibukkan dirinya sehingga karena kesibukan itu, ia lupa kepada Allah,
inilah zuhdnya orang ‘arif
Dengan demikian, secara umum,
dapat dikatakan bahwa tekanan utama dalam konsep sufi tentang zuhd adalah mengurangi keinginan
terhadap kehidupan duniawai, karena kehidupan ini, disini bersifat sementara
dan apabila manusia tergoda olehnya, ia akan jauh dari Tuhannya. Dunia ini
penuh dengan permainan dan senda gurau yang dapat menyilaukan pandangan. Karena
itu jnganlah rela diperbudak olehnya.
c. Sabr
Abu Zakaria
Ansari berkata: “sabar merupakan kemampuan sesorang dalam mengendalikan dirinya
terhadap sesuatu yang terjadi, baik yang disenanginya maupun yang yang
dibencinya”. Abu Ali Daqaq mengatakan: “hakikat sabar ialah keluar dari suatu
bencana sebagaimana sebelum terjadi bencana itu”. Dan Imam al-Ghazali
mengatakan: “sabar ialah suatu kondisi jiwa yang terjadi karena dorongan ajaran
agama dalam mengendalikan hawa nafsu”.
Dengan
demikian, sabar dapat berarti konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua
perintah Allah. Berani menghadapi kesulitan dan tabah dalam menghadapi cobaan
selama dalam perjuangan utnuk mencapai tujuan. Karena itu, sabar erat
hubungannya dengan pengendalian diri, sikap dan emosi. Apabila seseorang telah
mampu mengontrol dan mengendalikan nafsunya, maka sikap/sifat sabr akan
tercipta.
Sabar
itu membentuk jiwa manusia menjai kuat dan teguh tatkala menghadap bencana
(musiabah). Jiwanya tidak bergoncang, tidak gelisah, tidak panik, tidak hilang
keseimbangan, tediak berubah pendirian. Tak ubahnya laksana batukarang di
tengah lautan yang tidak bergeser sedikit pun tatkala dipukul ombak dan
gelombang yang bergulung-gulung.
Jika
dilihat dari perwujudannya, sifat sabar itu dapat dibagi menjadi lima bagian,
yaitu:
a. Sabar dalam
beribadah
Sabar mengerjakan ibadah
berarti tekun mengendalikan diri mengikuti semua syarat dan rukun ibadah itu.
Menurut Imam Ghazali, dalam pelaksanaan ibadah itu perlu diperhatikan tiga hal,
yakni:
1) Sebelum
melaksanakan ibadah, harus dibuhul niat yang suci dan ikhlas, semata-mata
karena taat kepada Allah.
2) Sedang
melakukan ibadah, janganlah lalai memenuhi syaratnya, jangan lupa melakukan
sesuai dengan tat tertibnya.
3) Sesudah
selesai beribadah, janganlah besikap ria, menceritakan ke kanan dan ke kiri
tetang ibadah atau amalan yang dikerjakan, dengan maksud supaya mendapat pujian
dari orang lain.
b. Sabar
ditimpa malapetaka
Sabar ditimpa malapetaka atau
musibah ialah teguh hati ketika mendapat cobaan, baik yang berbentuk kemiskinan
maup berupa kematian, kejatuhan, kecelakaan dan lain sebagainya. Kalau
melapetaka itu tidak dihadapi dengan kesabaran, maka akan terasa tekanannya
terhadap jiwa dan raga. Raga atau badan semakin lemah dan lemas, jiwa atau hati
semakin kerdil. Timbullah kegelisahan, kecemasan, panik dan akhirnya putus asa.
Malah kadang-kadang ada pula yang nekad dan gelap mata mengambil keputusan yang
konyol dan tindakan yragis, seperti bunuh diri.
c. Sabar
terhadap kehidupan dunia.
Sabar terhadap kehidupan
dunia ialah sabar terhadap tipu daya dunia; jangan sampai terikat hati kepada
kenikmatan hidup duniawi ini. Dunia ini adalah jembatan untuk kehidupan yang
avadi, kehidupan akhirat. Kehidupan di dunia ini janganlah dijadikan tujuan
akhir, tapi hanya sebagai alat untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan
yang abadi.
d. Sabar
terhadap maksiat.
Sabar terhadap maksiat ialah
mengendalikan diri supaya jangan melakukan perbuatan maksiat. Tarikan untuk
mengerjakan maksiat itu sangat kuat, sebab memang terdapat kecenderungan dalam
diri manusia untuk berbuat maksiat disamping ia senatiasa digoda dan didorong
oleh setan agar mabusia terjerumus kepada kemaksiatan. Setan itu laksana kipas
yang terus-menerus mengipas-ngipas api yang kecil sehingga akhirnya menjadi
besar merebet dan menjilat-jilat ke tempat lain. Kalau apai telah semakin
besar, maka sukar untuk dipadamkannya.
e. Sabar dalam
perjuangan.
Sabar dalam perjuangan ialah
dengan menyadari sepenuhnya bahwa setiap perjuangan mengalami masa up and down, masa naik dan masa turun,
masa menang dan masa kalah. Kalau perjuangan belum berhasil, atau sudah nyata
mengalami kekalahan, hendaklah berlaku sabar menerima kenyataan itu. Sabar
dalam arti tidak putus asa, tidak putus harapan, tidak patah semangat. Tetapi
harus berusaha menyusun kekuatan kembali, melakukan self-corection dan introspeksi (mawasdiri) tentang sebab-sebab
kekalahan dan menarik pelajaran dari padanya. Jika perjuangan berhasil atau
menang, harus pula sabar mengendalikan emosi-emosi buruk yang biasanya timbul
akibat kemenangan itu, seperti sombong, congkak, berlaku kejam, membalas dendam
dan lain sebagainya. Sabar disini harus diliputi oleh perasaan syukur.
d. Tawakkal
Tawakkal
atau tawakkul (bahasa Arab) berasal
dari kata kerja (fi’il) w-k-l, yang berarti mewakilkan atau
menyerahkan. Jika dilihat dari segi istilah, tawakkal berarti berserah diri
sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan,
menanti akibat dari suatu keadaan. Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal
sebagai berikut: “Tawakkal ialah menyandarkan kepada Allah swt tatkala
menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepadaNya dalam waktu kesukaran, teguh
hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram”.[14]
Tawakkal adalah suatu sikap mental
seorang sufi yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah,
karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang
menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya maha luas, Dia yang menguasai dan
mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan
segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenang dan tenteram serta tiada ada
rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Menurut
ajaran islam, tawakkal itu ialah tumpuan terakhir dalam suatu usaha atau
perjuangan. Jadi arti tawakkal yang sebenarnya menurut islam, ialah menyerahkan
diri kepada Allah swt setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja
sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti sunnah
Allah yang Dia tetapkan. Misalnya, seseorang yang meletakkan sepeda di muka
rumah, setelah dikunci rapat, barulah ia bertawakkal. Pada zamn Rasulullah saw
ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat terlebi dahulu.
Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab: “saya telah benar-benar
bertawakkal kepada Allah”. Nabi yang tidak membenarkan jawaban tersebut
berkata: “Ikatlah dan setelah itu bolehlah engkau bertawakkal”.
Sifat
tawakkal memang timbulnya tidak dengan sekaligus, tetapi secara bertahap dan
berangsur-angsur, sesuai dengan perkembangan ilmu dan iman sesorang, Abu Ali
Daqaq mengatakan bahwa tawakkal itu terdiri daru tiga tingkatan.
Pertama,
tawakkal, yaitu hati merasa tenteram
dengan apa ynag telah dijanjikan Allah. Tawakkal
seperti ini merupakan maqam bidayah, yakni
sifat bagi orang mukmin yang awam.
Kedua,
taslim, yaitu merasa cukup menyerahan
urusan kepada Allah, karena Allah telah mengetahui tentang keadaan dirinya.
Sikap seperti ini merupakan maqam
mutawasit, yang menjadi sifat orang khawas.
Ketiga, tafwit, yaitu orang yang telah rido menerima ketentuan/takdir
Allah. Sikap seperti ini adalah sikap orang yang sudah sampai kepada maqam nihayah, orang-orang muwahhidin, dan khawas dan khawas al-khawas.
Islam
mengajarkan agar setiap orang yang beriman menyerahkan segala urusannya kepada
Allah sajalah yang Maha Mengetahui apa yang ada di langit dan yang aa dibumi.
Dan apa yang menjadi keputusanNya itulah yang paling baik bagai manusia. Allah
berfirman:
Dan kepunyaan Allah lah apa yang gaib di langit dan di
bumi dan kepadaNya lah dikembalikan urusan semuanya, maka sembahlah Dia dan
bertawakkal kepadaNya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu
kerjakan (QS. 11:123)
e.
Rida
Al-Junaid
mengartikan reda dengan “meninggalkan
usaha” (tark al-ikhtiyar). Sedangkan
menurut Zu al-Nun al-Misri, reda ialah
menerima qada dan qadar dengan kerelaan hati. Pendapat
senada juga pernah diungkapkan oleh Imam al-Qusyairi, katanya orang orang yag
memiliki sikap reda ialah orang yang
tidak menentang (rela menerima) apa yng telah ditetapkan Allah.
Pengertian reda ini merupakan perpaduan antara
sabar dan tawakkal yang melahirkan sikap mental yang tenang dan senang menerima
segala situasi dan kondisi. Setiap yang terjadi disambut dengan hati terbuka,
bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walau yang datang itu berupa bencana.
Suka dan duka diterima dengan gembira, sebab apapun yang datang itu adalah
ketentuan Allah yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Sikap mental seperti ini
akan dapat tumbuh melalui usaha demi usaha, perjuangan demi perjuanagan,
mengikis habis semua perasaan gundah dan benci sehingga yng tinggal dalam
hatinya hanya perasaan senang dan bahagia. Apapun yang datang dan pergi selalu
ia terima dengan reda, ikhlas dan
bahagia.
Sikap reda ini baru tercapai oleh seseorang
apabila Allah telah rida kepadanya, sebagaimana firmanNya: Allah reda terhadap mereka dan mereka reda kedapaNya. Dan keridaan
Allah hanya dapat dicapai dengan meningkatkan iman kepadaNya. Dengan
meningkatkan iman, Allah bertambah reda kepadanya, seperti diterangkan oleh
Rasulullah saw dalam sabdanya: “Orang yang merasakan lezatnya iman ialah orang
yang telah reda menjadikan Allah itu sebagai Tuhannya”.
Para sufi
berbeda pendapat, apakah reda ini
termasuk maqam atau hal. Sebagian besar khususnya dari
kalangan Khurasan, berpendapat bahwa reda
terasuk maqam yang merupakan
ujung dari tawakkal. Dengan demikian reda adalah suatu sikap yang dapat
dicapai melalui usaha manusia. Sedang dari kalangn Irak berpendapat bahwa reda
merupakan suatu sikap mental yang didapat hanay dengan karunia Allah.
2. Ahwal
Disamping
istilah maqam (bentuk jamaknya maqamat), terdapat pula dalam literatur
tasawuf istilah hal (bentuk jamaknya ahwal). Hal merupakan kondisi mental, seperti perasaan senang, sedih,
takut, dan lain sebagainya. Hal berlainan
dengan maqam, bukan diperoleh dari
melalui usaha manusia, tetapi diperoleh sebagai anugerah danrahmat dari Tuhan.
Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat
sementara, datang dan pergi; datang dan pergi bagi seorang sufi dalam
perjalanannya mendekati Tuhan.
Dengan
demikian, sebenarnya antara maqam dan
hal merupakan dua aspek yang saling
terkait dan saling melazimi. Makin tinggi maqam
yang dicapai sesorang makin tinggi hal
yang ia peroleh. Atau, jika diperhatikan isi dari apa yang disebut hal itu, sebenarnya adalah merupakan
manifestatsi dari maqam yang mereka
capai. Dengan kata lain, bahwa kondisi mental yang diperoleh sufi adalah
sebagai anugerah amalan yng ia ;lakukan. Hanya saja, karena orang sufi
selamanya bersikap hati-hati dan berserah diri kepada Allah ia “segan”
mengatakannya.
Sebagaimana
halnya dengan maqam, dalam jumlah dan
formasi hal ini juga terdapat
perbedaan pendapat di kalngan kaum sufi. Di antara sekian banyak nama dan sifat
hal tersebut, yang terpenting dan
biasa disebut:
a. Khauf
Khauf menurut ahli sufi berarti suatu sikap
mental merasa takut kepada Allah karena khawatir dan kurang sempurna
pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh
karena adanya perasaan itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan laku
perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Boleh jadi perasaan khauf ini timbul karena takut kepada
siksa Allah.juga bisa timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah
begitu mendalam, sehingga ia merasa khawatir kalau-kalau Allah melpakannya.
Imam
al-Ghazali berbicara tentang macam-macam khauf
kepada duma macam, yaitu: (1) khauf karena
khawatir kehilangan nikat. Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara
dan menempatkan nikamt itu pada tempatnya, dan (2) khauf kepada siksaan akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah yang mendorong
oarng untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang
diperintah.
b. Raja
Raja’ berarti suatu sikap mental yang optimis
dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hambaNya
yang saleh, karena ia yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha
Pengampun. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada,
penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah. Perasaan optimis ini akan
memberi semangat dan gairah baginyauntuk melakukan mujahadah demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan.
Demikianlah
arti raja’, yang mendorong seorang
muslim untuk selalu berbuat baik dan beramal saleh demi mengaharap karunia dan
rahmat Allah. Allah swt berfirrman:
sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu
mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 2:218).
Sedang
harapan utama bagi orang-orang sufi ialah agar menjadi otrang yang mencintai
dan dicintai Allah, dapat mendekatkan diri kepadaNya dan dapat bertemu
denganNya di akhirat nanti. Allah swt berfirman: “Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya
waktu (yang dijanjikan) Allah itu,pasti datang. Dan Dialah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui” (QS. 29:5).
c. Syauq
Syauq atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang
menyertai mahabbah, yaitu rasa rindu
yang memancar dari dari kalbu karena gelora cinta sejati. Pengetahuan dan
pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah.rasa
senang yang bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin
bertemu, hasrat selalu bergelora agar senantiasa bersama Dia. Setiap denyutan jantung,
detak kalbu dan desah nafas, ingatan hanya kepada Allah, itulah syauq. Perasaan inilah yang menjadi
motor pendorong orang sufi untuk selalu berada sedekat mungkin dengan Tuhan,
yang menjadi sumber segala kenikmatan dan kerinduan yang diidamkan.
Memang
rahasia Allah tidaklah dapat dibilang banyaknya; hanya sebagian dari rahasia
itu yang disingkapkan kepada manusia, itupun tidak semua orang mengetahuinya.
Orang yang ‘arif mengetahui sebagian rahasia
Allah tadi, namun mereka tidak akan mengetahui seluruhnya, karena pengetahuan
manusia sangat terbatas; yang belum diketahui lebih banyak dari yang sudah diketahui.
Karena itu timbullah kerinduan untuk mengetahui sebagian yang belum
diketahuinya. Rindu ini, seperti telah dikemukakan di atas, akan berakhir di
akhirat nanti dalam bentuk ru’yah, liqa’ dan
musyahadah.
d. Uns
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi
rohani terpusat penuh keoada titik sentrum, yaitu Allah. Tidak ada yang dirasa,
tidak ada ynag diingat, tidak ada ynag diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya
terpusat buat sehingga ia seakan-akan tidak menyadarinya lagi dan berada dalm
situasi hilang ingatan terhadap alam sekitar. Situasi kejiwaan seperti itulah
yang disebut uns. Situasi uns ini mirip dengan fana’, sebab, kata Zu al-Nun al-Misri,
sesorang yang memperoleh keadaan uns, sekiranya
ia dilemparkan ke dalam neraka, tentu ia tidak merasakan panasnya neraka itu.
Dan al-Junaid juga mengatakan, apabila seseorang telah sampai kepada kondisi
jiwa uns itu, andaikata tubuhnya
ditusuk dengan pedang, ia tidak akan merasakannya.
e. Yaqin
Perpaduan
antara pengetaguan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang
bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, bertambahlah dalam
jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mapan dan mantap, bahwa Dialah yang
dicari itu. Perasaan mantapnya perasaan pengetahuan yang diperoleh dari
pertemuan secara langsung itulah yang disebut yaqin. Dalam hal ini al-Junjaid berkata: “yaqin ialah mantapnyaa pengetahuan sehingga tidak berpaling dan
tidak berubah”.
Menurut
sebagian orang sufi, yaqin adalah
suatau pengetahuan yang diletakkan ke dalam hati seseorang. Jadi berdasarkan
pendapat ini bahwa keyakinan itu adalah pengetahuan yang didapat tanpa melalui
usaha, tapi hanya semata limpahan karunia Allah. Sebaliknya, Abu Bakar Thahir
mengatakan: “yaqin adalah ilmu yang
memiliki kepastian tanpa keraguan”. Berdasarkan pengertian ini maka yaqin adalah pengetahuan yang didapat
dengan perantaraan usaha. Sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf itu bagi orang mubtadi didapatnya dengan perantaraan
belajar, namun bagi orang muntani, ilmu
itu hanya didapat melalui limpahan karunia Allah swt.
Demikianlah
arti dan hakikat yakin yang merupakan kondisi mental yang dituntut oleh
orang-orang sufi, yang menjadi bukti adanya tauhid yang sempurna dan sebagai
tanda iman yang kuat. Keadaan keyakinan yang demikian inilah yang akan membawa
manusia kepada ketenteraman jiwa; dan dengan rasa tenteram ini lahirlah rasa
lapang dan gembira, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “sesungguhnya
Allah dengan keadllan dan kemurahanNya menjadikan rasa lapang dan gembira pada
reda dan yakin; dan menjadikan kesedihan dan duka pada keraguan dan
kedurhakaan.
3.
Tasawuf Falsafi
Tasawuf
falsafi ialah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dengan
visi rasional. Berbeda dengan tasawuf akhlaki dan tasawuf amali yang masih
berada dalam lingkungan tasa\wuf Suni seperti tasawufnya al-Ghazali, tasawuf
falsafi menggunakan terminologi falsafi dalam pengungkapan ajarannya.
Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang
telah mempengaruhi para tokohnya.
Ciri umum
tasawuf falsafi ialah kesemaran-kesemaran ajarannya, akibat banyaknya ungkapan
dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami
ajaran tasawuf jenis ini. Selanjutnya tasawuf falsafi ini tidak bisa dipandang
sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (zauq), dan sebaliknya, tidak pula bisa
dikategorikan pada tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya
sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih cenderung kepada panteisme.
Manusia
masih mampu naik ke jenjang yang lebih tinggi , yaitu persatuan dengan Tuhan
yang kemudian disebut dengan istilah ittihad,
hulul, wahdah al-wujud, dan isyraq. Dengan
munculnya karakteristik tasawuf seperti ini, maka pembahasan tasawuf sudah
lebih bersifat falsafati, yakni pembahasannya telah meluas kepada masalah
metafisika seperti proses persatuan dengan Tuhan, yang sekaligus membahas
konsep manusia dan Tuhan.
Bibliografi
Abdurrahman
ibn Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khladun.
Abu Nasr al-Tusi, Al-Luma’,
Dar al-Kutub al-Haditsah, Mesir, 1960.
Ahmad ibn
Ujaibah, Iqazh al-Himam fi Syarh
al-Hikam.
Asmaran AS, Pengantar
Studi Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta,2002.
Haji
Khalifah, Kasyf azh Zhunun ‘an Asami
al-Kutub wa al-Funun, vol. I.
Ibn Atailah, Mempertajam
Mata Hati, Pengubah Abu jihaduddin Rifqi Alhanif, Bintang Pelajar, Gresik,
Jatim.
Ibrahim Hilal, Al-Tasawwuf
Al-Islami Baina Al-Din wa Al-Falsafah, Dar Nahdiah al-‘Arabiah, Cairo,
1979.
Imam al-Ghazali, Al-Munqiz
min Al-Dalal, al-Maktabah al-Syu’biyah, Beirut.
Mustafa Zahri,Kunci
Memahami Ilmu Tasawwuf, Bina Ilmu, Surabaya, 1991.
Zakaria
al-Anshari (wafat 929 H), Ta’liqat ‘ala
ar-Risalah al-Qusyairiyyah.
Tentang Penulis
musa.syamsul@ymail.com
Penulis
Bandung, 2013
[1]
Zakaria al-Anshari (wafat 929 H), Ta’liqat
‘ala ar-Risalah al-Qusyairiyyah.
[2]
Haji Khalifah, Kasyf azh Zhunun ‘an Asami
al-Kutub wa al-Funun, vol. I,hlm 413-413
[3]
Ahmad ibn Ujaibah, Iqazh al-Himam fi
Syarh al-Hikam.
[4]
Abdurrahman ibn Khaldun, Muqaddimah Ibnu
Khladun.
[5]
Bagian dari hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
[6] Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Rajawali Pers, Jakarta,2002.
[7] Mustafa Zahri,Kunci Memahami Ilmu Tasawwuf, Bina Ilmu, Surabaya, 1991.
[8] Imam al-Ghazali, Al-Munqiz min Al-Dalal, al-Maktabah al-Syu’biyah, Beirut, t.t.,hlm.
31-32
[9] Brahim Hilal, Al-Tasawwuf Al-Islami Baina Al-Din wa Al-Falsafah, Dar Nahdiah
al-‘Arabiah, Cairo, 1979.
[10] Aboebakar Atjeh, op.cit., hlm.66.
[11] Hamka, op.cit., hlm 112.
[12] Abu Nasr al-Tusi, Al-Luma’, Dar al-Kutub al-Haditsah, Mesir, 1960.
[13] Ibn Atailah, Mempertajam Mata Hati, Pengubah Abu jihaduddin Rifqi Alhanif,
Bintang Pelajar, Gresik, Jatim, t.t., hlm. 17.
[14] Al-Ghazali, op.cit.,hlm.87.
Komentar
Posting Komentar